Jakarta - Bila mendengar kata 'sosial' atau 'social' dalam bahasa Inggris, generasi orang tua kita mungkin masih mengaitkannya dengan kegiatan amal (misi sosial) atau salah satu bidang ilmu yang berkaitan dengan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dan lingkungan di sekitarnya (ilmu sosial/sosiologi).
Belakangan ini, kata social semakin beralih makna. Generasi saat ini mendengar kata social mungkin akan langsung mengasosiasikan kata tersebut dengan kegiatan yang berhubungan dengan social media.
Misalnya saja ada istilah 'Social Business' yang bergeser maknanya dari sesuatu yang maknanya dekat pada kegiatan amal dan merupakan istilah yang dipopulerkan pemenang hadiah Nobel Muhammad Yunus, belakangan ini lebih populer sebagai jargon yang digunakan para penjual tools pendukung bisnis yang mengadopsi social media di dalamnya.
Kemudian bila kita mendengar pertanyaan seperti seberapa 'social' bos Anda, atau seberapa 'social' organisasi Anda, maka saya berasumsi Anda tidak lagi membaca itu sebagai 'seberapa suka beramalkah bos/organisasi Anda?' tetapi secara otomatis Anda akan mengaitkan pertanyaan itu dengan kegiatan di social media.
Demikian pula yang saya harapkan ketika Anda membaca judul artikel ini. Dalam konteks ini, jelas Indonesia adalah negeri yang amat social.
Baru-baru ini majalah Forbes mengejutkan dunia dengan tulisan bahwa kota teraktif di Twitter sedunia adalah Jakarta. Menyusul beberapa urutan di bawah Jakarta, adalah Bandung. Ini adalah konfirmasi terbaru tentang betapa 'social' negeri kita.
Saya tidak ingin membuat Anda bosan dengan data-data konfirmasi lainnya, tetapi di awal tahun ini, mari kita sama-sama renungkan, mengetahui negeri kita yang teramat social ini, lalu apa? Pemahaman ini berkaitan dengan pemahaman tentang budaya masyarakat Indonesia yang kemudian akan mendasari perilaku-perilaku seperti misalnya perilaku berbelanja.
Saya kemudian tertarik untuk mengaitkan hal ini dengan salah satu teori budaya yang paling banyak digunakan, yaitu teori dimensi budaya dari Hofstede.
Indonesia Dalam Teori Dimensi Budaya Hofstede
Hofstede membuat index yang mengukur negara-negara dalam 5 dimensi budaya berikut ini, yaitu: Power Distance, Individualism vs Collectivism, Uncertainty Avoidance, Masculinity vs Femininity, dan Long Term Orientation.
Indonesia dalam index tersebut dapat dilihat pada link berikut ini. (http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Berkaitan dengan artikel ini, saya hanya akan mengambil dua dimensi dari kelima dimensi tersebut, yaituPower Distance dan Individualism vs Collectivism.
Skor Indonesia untuk Power Distance termasuk tinggi (78). Ini berarti masyarakat Indonesia cenderung tergantung pada hirarki, ada perbedaan hak yang besar antara penguasa dengan non penguasa, serta kontrol yang kuat pada pemimpin.
Masyarakat dengan tingkat Power Distance yang tinggi akan cenderung menjadi pencari opini (opinion seeker) dibanding masyarakat dari budaya dengan Power Distance yang rendah. (Kau & Jung, 2004)
Di sisi Individualism vs Collectivism, Indonesia, mempunyai skor yang rendah (14). Ini berarti, Indonesia adalah masyarakat yang sangat kolektif.
Budaya kolektif berarti cenderung lebih menyukai kerangka sosial yang kuat di mana individu diharapkan untuk mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat dan kelompok di mana dia berada.
Masyarakat dari budaya yang tinggi collectivism-nya akan cenderung lebih terpengaruh oleh orang lain (dalam hal ini, reference group, atau influencer). (Kau & Jung, 2004).
Saya mengambil kedua contoh ini untuk menunjukkan bahwa perilaku 'social' itu memang sudah ada dari akar budayanya. Menilik dari index Hofstede, berarti Indonesia sebenarnya jauh lebih 'social' dari negara-negara barat yang menjadi penemu social media.
Karena sudah ada dalam budaya Indonesia itu sendiri, maka kehadiran social media begitu cepat berkembang pesat di Indonesia. Hal ini lebih lanjut juga akan mempengaruhi perilaku lainnya, misalnya perilaku berbelanja.
Dalam berbelanja, apabila kita menilik dari teori budaya di atas, dapat diduga bahwa dalam berbelanja pun konsumen Indonesia akan cenderung mencari opini dan lebih terpengaruh oleh kelompok pemberi pengaruh, dibanding masyarakat dengan Individualisme yang tinggi seperti misalnya di negara-negara Barat.
Apabila kita renungkan hal ini lebih lanjut, maka perkawinan social media dengan belanja (salah satunya:social commerce) seharusnya akan menjadi lebih booming di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Barat, yang menjadi penemu istilah itu.
Indonesia, tidak disangkal lagi, adalah negeri yang amat social. Kekuatan social media di Indonesia akan terus kita gali dan kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk pengembangan perekonomian.
Sudahkah Anda misalnya, memaksimalkan penggunaan social media untuk meningkatkan penjualan? Sudahkah Anda memaksimalkan penggunaan social media untuk meningkatkan bisnis Anda? Mari kita renungkan bersama. Selamat Tahun Baru 2013.
0 comments:
Post a Comment